Tak Lagi Sama, Setelah Hari Itu :(

Aku menulis ini ketika aku sudah lelah menghapus air mataku. Iya, aku menulisnya tanpa sedikitpun mengeluarkan air mata. Aku menulis ini ketika mulutku tak mampu lagi berkata. Kau tau ini hari apa? ini hari kamis, 4 hari setelah kepergianmu. Kepergian yang meninggalkan sejuta kenangan yang belum mampu membuatku terlihat biasa saja tanpa kabarmu. Kau pergi menyisakan banyak sesak di dada. Kau pergi dengan membawa semua mimpi dan harapanku, mengubur asa menjadi angan-angan kelabu.

Apa kau tau setiap hari aku merindukanmu? setiap hari aku menahan tangis dan sesak di dada hanya untuk menunjukkan pada dunia kalau aku baik-baik saja. Apa kau tau? setiap hari aku menahan diri sekuat mungkin untuk tidak menanyakan kabarmu, untuk tidak mengirim pesan lebih dahulu kepadamu. Iya, ini memang caraku menguatkan diri dan membiasakan tanpa kabar darimu. Sulit sekali kutahan rasa ketidakingintahuanku, karena kau pasti tau bagaimana aku sangat peduli padamu.

Aku takut sendirian, bukan, bukan karena aku manja dan tidak bisa mandiri. Kau tentu tau bagaimana aku di sini bisa bertahan dan berjuang demi masa depan sendirian. Aku takut saat sedang sendirian bayangmu hadir lagi dihadapanku. Aku bahkan takut tertidur, takut kalau tiba-tiba kamu datang dimimpiku. Aku takut tak bisa menguasai perasaanku, aku takut tak bisa memelukmu lagi untuk ungkapkan aku sedang dilanda rindu. Entahlah, ini memang berlebihan. Banyak sekali ketakutanku. Tapi aku sudah mulai realistis kok. Aku akan melawan segala rasa takutku, aku akan menguatkan dan memberanikan diri menghadapi apapun yang mungkin terjadi dihadapanku nanti. Aku mulai menikmati sakit ini sampai nanti aku lupa pernah sesakit ini dan berhasil melaluinya tanpa menyisakan luka. Aku memang tak bisa melakukan apa-apa sekarang, selain melalui proses dalam menyembuhkan sakit ini sendirian. Seperti yang selalu aku katakan padamu, "setiap penyakit pasti ada obatnya, luka pun ada sembuhnya, badai saja ada redanya, tentunya sedih ini pun pasti akan berakhir bahagia".

Aku ingin terus bisa bersamamu, agar tidak pernah kehilangan kamu dan tak lagi mencicipi luka ditinggal saat sedang cinta-cintanya. Aku selalu ingin menahanmu pergi, ketika kamu harus kembali dengan kesibukanmu, aku selalu ingin waktu berhenti ketika kita bertemu, sehingga aku bisa lebih lama memandangimu, memlukmu, mengajakmu membicarakan mimpi-mimpi kita. Harapanku begitu besar padamu dan aku yakin ini semua salahku karena pernah berharap terlalu tinggi. Tapi apakah berharap menjadi milikmu adalah keinginan yang terlalu tinggi? Kita sudah terlalu dekat, tapi ada sekat tak terlihat yang memisahkan hati kita masing-masing, sekat yang bertuliskan "jangan lanjutkan, atau kamu akan terluka sendirian", yang membuatmu ragu untuk tetap bertahan saling memperjuangkan denganku di sini atau segera mengakhiri semua ini. Kau tau, aku tak akan membuatmu dihadapkan pada pilihan, karena kau pasti akan sangat kesulitan menentukan pilihan. Aku tak ingin jika kau hanya menjadikan ku pilihan, bukan lagi jadi tujuan. Maka lebih baik aku sabar dan menerima kenyataan. Sebenarnya sederhana saja, air mata itu jatuh bukan karena inginku, tapi keinginan hatiku yang tak mau kamu pergi, tak ingin kita berakhir dengan alasan sepihak yang sesungguhnya masih sangat mungkin diperjuangkan. Tak ingin kita berhenti berjalan beriringan ketika di ujung sana kita telah melihat sedikit cahaya terang. Aku takut pada semua hal itu, pada kemungkinan-kemungkinan lain yang tak akan membuatku bahagia.

Aku sudah menemukanmu dan tak ingin melepaskanmu. Kita terjebak dalam ruang itu dan aku tak bisa melawan bahwa ada kenyamanan yang kau bawa dalam hari-hari sepiku. Kamu bercerita tantang rutinitasmu, kesibukanmu, cinta masa lalumu yang pilu, keluargamu, dan segala hal yang membuatku merasa dihargai. Aku merasa punya hak tersendiri bisa mendengar ceritamu. Aku tak pernah berpikir bahwa kenyamanan ini akan berlanjut pada rasa takut kehilangan. Sementara kita sedang dalam proses sama-sama mengobati luka lama, sama-sama trauma dalam cinta, sama-sama ingin fokus ke masa depan. Aku tak tau apakah kenyamanan ini tumbuh karena kebosananku pada rutinitasku selama ini atau memang sosokmu yang spesial itu sengaja dikirimkan Tuhan untukku?

Aku percaya, semua yang kita lalui sudah diatur olehNya. Pertemuan kita, semuanya tidak ada yang sia-sia, Allah pasti sedang mengajarkan kita bahwa sekuat apapun kita berusaha, biarlah Allah yang menentukan hasil akhirnya.Entah untuk mengajarkan aku lebih bersabar atau mengikhlaskan sesuatu yang telah Allah gariskan. Kita hanya sedang menjalani hari-hari sesuai dengan takdir dan ketetapanNya. Aku akan tetap berprasangka baik, karena Allah pasti akan selalu memberikan kita yang terbaik. Biarlah aku meyakininya sesuai keyakinanku.

Ketika 4 hari kau menghilang dan tak ada kabar, aku menyimpan rinduku dalam-dalam dan menunggu kamu menghubungiku lebih dulu. Diam-diam aku simpan air mata yang tak kau ketahui. Dengan alasan kesibukanmu, aku terima kekalahanku yang pasti tidak akan terlihat begitu penting di matamu. Seperti biasa aku terus menunggu, hingga aku lupa rasanya bosan. Karena semua luka dan perih langsung terhapus ketika kau sapa aku, sekedar mengingatkanku agar tidak terlambat makan. Kau juga sempat bilang rindu, dan membuatku sungguh sangat ingin bertemu denganmu.

4 hari selama kau pergi, aku menyimpan rindu yang tak kau pahami. Entah mengapa, kau begitu mudah mengabaikanku. Sementara aku sangat sulit untuk tidak peduli padamu. 4 hari ini kamu adalah sosok yang seringkali membuat dadaku sesak dan ketakutan. Aku sadar kau tidak menjadikanku tujuanmu. Tapi mengapa untuk berhenti selangkah saja, rasanya aku selalu takut tidak akan lagi menemukan pria yang seperti kamu?

Kamu pernah menjadi bagian terpenting dalam hari-hariku. Setiap malam, sebelum tidur kuhabiskan beberapa menit untuk membaca chat kita, tawa kecilmu, kekonyolanmu, kecupan bentuk tulisan, dan candaan kita selalu membuatku tersenyum diam-diam. Perasaan ini sangat dalam, sehingga aku lebih memilih untuk memendam. Jatuh cinta terjadi karena proses yang cukup panjang, itulah proses yang seharusnya secara alamiah dan manusiawi. Kebahagiaanku mulai hadir ketika kamu menyapaku lebih dulu dalam pesan singkat. Semua begitu bahagia...... dulu.

Setelah kau sebutkan alasanmu, apakah kau pernah menilik sedikit saja perasaanku? ini semua terasa aneh bagiku. Kita yang dulu sangat dekat, tak ada masalah, tiba-tiba harus menjauh. Aku yang terbiasa dengan sapaanmu dipesan singkat harus (terpaksa) ikhlas tak lagi dapat kabar darimu. Aku berusaha memahami itu. Setiap hari. Setiap waktu. Aku berusaha meyakinkan diriku bahwa semua sudah berakhir dan aku tak boleh lagi berharap terlalu jauh. Kecuali berharap segala kebaikan dari ketetapan Tuhan yang selalu menguatkan.

untuku yang selalu kurindu dan kuperbincangkan dengan Tuhan.

Terima Kasih Dwita, sudah membuat tulisan yang menginspirasi :')

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read Comments

0 komentar:

Posting Komentar